Pembacaan situasi yang terjadi di Indonesia sering kali diwarnai oleh berbagai masalah yang menyangkut hak asasi manusia. Salah satu peristiwa yang mencuri perhatian adalah penangkapan seorang aktivis, Muhammad Fakhrurrozi alias Paul, yang berlangsung di Yogyakarta. Penangkapan ini dipandang sebagai bagian dari upaya represif terhadap kebebasan berpendapat dan berorganisasi.
LBH Surabaya mencatat bahwa tindakan kepolisian yang dilakukan terhadap Paul sangat problematis. Mulai dari cara penangkapan yang menggunakan kekerasan hingga ketidakpatuhan pada prosedur hukum yang berlaku, semua itu menciptakan kekhawatiran mengenai penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam laporan yang disampaikan oleh pihak LBH, terlihat bahwa penangkapan ini tidak hanya terhadap individu, tetapi juga menggambarkan iklim penegakan hukum yang semakin menekan suara-suara kritis di masyarakat.
Pelanggaran Prosedur Hukum yang Terjadi dalam Penangkapan
Penangkapan yang berlangsung pada tanggal 27 September 2025 ini menimbulkan banyak tanda tanya. Prosedur hukum yang seharusnya dijalankan oleh aparat kepolisian tidak terlihat dalam pelaksanaan penangkapan. Sesuai dengan aturan yang berlaku, penangkapan harus didasari oleh bukti yang cukup dan diperkuat dengan dua alat bukti yang valid.
Namun, berdasarkan pernyataan dari Direktur LBH Surabaya, Habibus Shalihin, proses penangkapan tersebut melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam kasus ini, aparat tidak menunjukkan cara-cara yang sah dalam penangkapan, sehingga merugikan hak asasi Paul.
Pihak LBH juga menambahkan bahwa proses penangkapan yang tergesa-gesa ini berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi individu yang ditangkap. Hal ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Keberadaan dan Komunikasi dengan Pengacara yang Dikuasai oleh Paul
Setelah penangkapan, Paul dibawa ke Polda DI Yogyakarta dan kemudian dipindahkan ke Polda Jawa Timur. Dalam proses tersebut, ia kehilangan akses untuk berkomunikasi dengan pengacara dan keluarganya. Keberadaan tanpa pendampingan hukum menciptakan kekhawatiran akan independensi hukum.
Peraturan tentang hak tersangka untuk didampingi oleh kuasa hukumnya seharusnya diperhatikan. Banyak yang berpendapat bahwa tanpa adanya pendampingan hukum, proses hukum yang berjalan tidak akan adil dan transparan.
Habibus Shalihin menjelaskan, ketidakberesan ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi aktivis yang berani bersuara. Hal ini juga mencerminkan perlunya reformasi sistem hukum yang lebih baik di Indonesia.
Penerapan pasal-pasal dalam pengenaan hukum kepada Paul
Setelah menjalani interogasi awal, Paul ditetapkan sebagai tersangka dengan beberapa pasal yang dikenakan. Dasar hukum yang digunakan mencakup Pasal 160 KUHP hingga Pasal 55 KUHP, yang mengatur soal penghasutan, pengeroyokan, dan dugaan tindak pidana lainnya. Semua ini menunjukkan bahwa Paul dituduh dengan pelanggaran yang cukup serius.
Meski demikian, penetapan status tersangka ini mendapatkan banyak kritik, terutama terkait dengan jumlah bukti yang tidak mencukupi. Tindakan ini semakin mempertegas adanya ketidakadilan dalam proses penegakan hukum.
Habibus menekankan bahwa penetapan sebagai tersangka tidak hanya harus berdasarkan keterangan, tetapi juga harus ada minimal dua alat bukti yang menguatkannya. Tanpa itu, proses hukum menjadi cacat dan merugikan pihak yang dituduh.
Dampak Lanjutan dan Tuntutan LBH Surabaya
YLBHI-LBH Surabaya menganggap tindakan aparat kepolisian sebagai bentuk kriminalisasi terhadap aktivis pro-demokrasi. Mereka meminta agar Kapolda Jawa Timur segera membebaskan Paul, mengingat bahwa hak-hak hukum serta prosedur yang berlaku tidak dihiraukan.
Selain menyerukan pembebasan Paul, LBH juga mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melakukan investigasi terhadap kejadian ini. Upaya pemantauan diperlukan agar tindakan sewenang-wenang tidak lagi terjadi pada masa mendatang.
Melalui langkah ini, YLBHI-LBH Surabaya berharap agar situasi hukum di Tanah Air menjadi lebih baik. Sistem yang lebih adil dan transparan akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan instansi penegak hukum.